Senin, 14 April 2014

Mengungkap Praktik Kadi Liar di Aceh

LELAKI muda itu tampak resah. Sesekali matanya melihat orang-orang di sekitar yang jumlahnya tidak sampai sepuluh. Malam itu jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB saat ia dan wanita di sampingnya duduk terdiam. Tidak ada yang istimewa tergambar dari raut wajah keduanya, kecuali perasaan gelisah menyelimuti seisi rongga dada. Lelaki muda itu, sebut saja namanya Roy, adalah calon pengantin yang akan menikahi wanita idamannya, Rin (bukan nama sebenarnya). Keduanya telah memutuskan untuk menikah pada seorang kadi liar (penghulu). Malam itu menjadi momen paling sakral bagi keduanya. Hanya saja Roy dan Rin tak menjalani prosesi pernikahan yang semestinya seperti pernikahan umumnya yang tercatat di KUA.

Roy masih berusia 25 tahun. Perantau asal Sigli di Banda Aceh ini memilih mempersunting wanitanya, yang asal Banda Aceh di depan seorang kadi. Momen ijab kabul itu berlangsung malam hari, dan hanya diketahui oleh beberapa teman Roy dan beberapa orang dari Rin, yang menurut pengakuan mereka adalah keluarganya.

Tgk Kadi, tidak banyak bertanya atau menelisik lebih jauh siapa orang-orang yang dibawa kedua mempelai malam itu, sampai proses akad nikah berlangsung. “Pakiban peu kabereh. (Bagaimana sudah beres)” kata Tgk Kadi kepada Roy yang malam itu tampak sedikit resah. “Ka (sudah),” sahut Roy dengan suara pelan.

“Peu jih yang bereh (apanya yang beres),” tanya Tgk Kadi lagi.

Sesaat kemudian, Roy menyerahkan sebuah amplop berisi uang senilai Rp 500.000. Seusai melihat sebentar, Tgk Kadi melanjutkan tugasnya.

“Kajeut tamulai. (Sudah bisa dimulai),” ujar lelaki itu. Suasana mendadak sepi dan hening.

Prosesi akad nikah diawali lantunan ayat suci Alquran. Tgk Kadi kemudian melanjutkan tausyiah singkat, memberi pesan-pesan nasehat kepada kedua mempelai. Intinya kedua mempelai harus saling menjaga, dan berkasih sayang dalam membina biduk rumah tangga yang sebentar lagi akan mereka arungi bersama, nyaris seperti ceramah umumnya pada hari pernikahan. Tidak berapa lama kemudian, Kadi meminta diperlihatkan mahar.

Semula Roy akan mempersunting Rin dengan mahar tiga mayam emas. Tapi lelaki itu hanya mempu membawa dua mayam emas. Tgk Kadi memakluminya, dengan memberi catatan satu mayam lainnya sebagai utang yang harus dilunasi Roy setelah menikah. Pada akhirnya tibalah saatnya Roy mengucapkan ijab kabul dengan Tgk Kadi sebagai wali nikah si mempelai wanita. Roy ternyata benar-benar tak siap. Lafaz ijab kabul yang semestinya sesuatu yang sakral, berubah menjadi momen yang membuat seisi ruangan rumah sesak menahan tawa. Soalnya Roy kesulitan mengucapkan ijab kabul, sampai ia harus mengulangnya berkali-kali. Baru pada hitungan ketujuh kali setelah Tgk Kadi menuntunya, ia berhasil. Sejak malam itu, Tgk Kadi memutuskan Roy dan Rin sudah menjadi suami istri.

“Malam nyoe pih kajeut wo u rumoh (malam ini juga sudah bisa pulang ke rumah),” ujar Tgk Kadi, lega. Selembar surat keterangan dari Tgk Kadi memperkuat bukti kalau keduanya sudah menjadi suami istri. Surat keterangan telah menikah itu langsung dapat dibawa pulang malam itu, bertuliskan dengan huruf mesin tik manual dalam kondisi dipres lengkap dengan tanda tangan Tgk Kadi dan dua foto mempelai.

Cerita pernikahan Roy dan Rin ini dituturkan seorang sumber yang ikut menyaksikan proses jalannya pernikahan pada seorang kadi liar di Banda Aceh.

“Semula saya diajak untuk menemani saja. Ketika sudah sampai saya juga ikut terkejut,” ujarnya. Peristiwa ini terjadi pada 2012 di sebuah rumah di sekitar Banda Aceh. Sumber tersebut juga mengaku melihat beberapa pasangan lainnya yang antre di luar ruangan dengan tujuan menikah pada malam itu.

Praktik menikah pada kadi liar memang bukan lagi isapan jempol. Kasus terbaru terjadi Jumat, 11 April 2014. Petugas WH Bireuen mengamankan satu pasangan yang diduga telah menikah pada kadi liar. Pasangan tersebut berinisial H dan M, warga Kecamatan Jeunieb, Bireuen. Pasangan ini ditangkap warga di kawasan Kecamatan Jeunieb. Komandan WH Bireuen, Usman Kelana mengatakan keduanya telah menikah pada kadi liar di Banda Aceh pada 4 April 2014.

“Pasangan itu kami jemput dari Jeunieb setelah sebelumnya sempat diamankan warga di salah satu desa kawasan Jeunieb,” kata Usman, Sabtu 12 April 2014.

Lelaki H mengaku dirinya sudah menikah dan punya seorang anak berumur enam tahun. Namun dua bulan lalu, H telah bercerai dengan istrinya. Sedangkan pasangan barunya M merupakan janda tiga anak, yang suaminya telah meninggal.

“Pada 4 April 2014 lalu kami menikah pada kadi di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar dengan membayar Rp 200.000 untuk kadi tersebut,” kata H.

Untuk membuktikan ucapannya itu, H mengaku mengantongi surat keterangan telah menikah yang dikeluarkan samg kadi. “Setelah menikah, dia (M) pulang ke Jeunieb. Lalu saya menyusul M ke Jeunieb. Baru satu malam di Jeunieb kami ditangkap dan dibawa ke meunasah gampong,” kata H, polos.







SEPERTI tercium tapi tak teraba. Fenomena kadi liar masih marak terjadi di berbagai wilayah di Aceh. Ada terselubung, juga ada yang terang-terangan. Beberapa kasus di antaranya baru diketahui setelah ada pasangan yang tertangkap. Praktik yang melibatkan ‘Tgk Kadi’ ini di sebagian wilayah malah ramai didatangi para ‘calon pengantin’. Lantas mengapa menikah menggunakan jasa kadi liar masih diminati masyarakat? Bagaimana pula modus para kadi liar menggaet pasangan pengantin? menelusurinya dalam liputan eksklusif edisi ini.

RUANGAN itu diterangi cahaya seadanya. Di dalamnya, samar-samar terlihat satu set pelaminan adat Aceh tertata rapi. Hanya ada satu kasur berbalut kain kasa, bantal dan beberapa aksesoris. Di dominasi warna kuning keemasan berhiaskan berbagai pernak-pernik khas Aceh membuat ruangan seluas 3x4 meter itu berbeda dengan dua ruang lain di depannya.

“Ruangan ini hanya kami gunakan kalau ada pasangan yang menikah,” kata Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, M Iqbal SAg MH saat ditemui di kantornya Jumat (11/4) lalu. Ruangan ini menjadi saksi bisu atas prosesi ijab kabul banyak pasangan calon ‘pengantin’ yang harus menikah kembali setelah pernikahan mereka terdahulu tidak diakui negara.

“Kami tidak mencatat berapa jumlahnya. Tapi kasus seperti ini banyak kami temukan. Ini menunjukkan masih maraknya pasangan yang menikah pada kadi liar tanpa mengikuti prosedur resmi yang diatur negara, akhirnya (mereka) harus menikah kembali,” katanya.

Selayaknya pengantin baru, mereka yang dinikahkan kembali di kamar kantor KUA itu mengikuti aturan negara. Tanggal pernikahan juga dicatat petugas pencatat nikah (PPN) di KUA saat hari mereka melangsungkan pernikahan. “Jadi tanggal pernikahannya bukan hari saat pasangan itu menikah dulu,” ujar Iqbal yang mengepalai KUA Ulee Kareng sejak 2011.

Penelusuran, praktik kadi liar ini sulit terendus karena terorganisir rapi, dan beroperasi sembunyi-sembunyi. Konon, beredar kabar, para kadi juga ikut memakai jasa agen untuk mendapat ‘pelanggannya’.

Dokumen yang diperoleh setidaknya ada lima titik lokasi kadi liar beroperasi di Banda Aceh. Para kadi liar ini diduga juga menampung pasangan bermasalah. Dalam praktiknya, kadi bersangkutan hanya mengeluarkan selembar surat berisikan identitas kedua belah pihak, mahar, saksi dan kadi yang menikahkan. Surat nikah itu tidak menyebutkan status kedua mempelai (jejaka/duda atau perawan/janda).

“Padahal status pasangan dalam pernikahan sangat penting untuk menghindari kesalahan menikahkan seorang perempuan yang sudah bersuami atau menikahkan seorang lelaki yang beristri tanpa izin dari istri pertama,” ujar Iqbal yang ikut meneliti praktik nikah siri di Banda Aceh.

Menurut Kepala KUA Ulee Kareng ini, kasus pernikahan liar justru banyak diketahui setelah ada pasangan yang sudah menikah tertangkap, atau mereka melapor sendiri ke KUA setempat untuk mengurus buku nikah guna membuat akte kelahiran anak, atau mengurus surat cerai.

“Melalui laporan yang masuk ke KUA tersebut baru diketahui, pasangan yang bersangkutan ternyata telah menikah pada kadi liar,” ujarnya.

Setelah menemui seorang kadi yang beroperasi di Kota Sabang. Namanya, Abu Thalib, Keuchik Gampong Balohan, Kecamatan Suka Jaya, Kota Sabang. Lelaki ini kerap dilabelkan sebagai “KUA Keliling.” Ia mengakui sudah menikahkan 500 lebih pasangan suami istri.

Di Kabupaten Bireuen, petugas Wilayatul Hisbah (WH) setempat berhasil mengamankan empat kadi sepanjang satu tahun terakhir.

Dua kadi beroperasi di Kecamatan Peudada dan dua lainnya di Kecamatan Peulimbang dan Gandapura.

“Pasangan yang dinikahkan oleh kadi liar sering ditangkap warga, lalu dinikahkan kembali di kantor KUA. Sedangkan kadi liar membuat pernyataan tidak mengulangi lagi perbuatannya,” kata Komandan WH Bireuen, Usman Kelana.

Menikah menggunakan jasa kadi liar terbilang lebih mudah. Pasangan cukup menyiapkan uang Rp 400-Rp 600.000 sebagai biaya nikah. Soal wali nikah, tidak perlu rumit. Kadi hanya menyediakan saksi nikah dengan imbalan Rp 50.000 per orang. Usai akad selesai, pasutri mendapat selembar surat keterangan nikah dari sang kadi.

Menurut seorang kadi liar yang ditemui, kebanyakan pasangan yang menikah sudah berhubungan layaknya suami istri. Bahkan ada yang hamil duluan. Selain itu, ada juga pasangan yang sudah berkeluarga, tapi sudah bercerai dengan suami atau sudah cerai dengan istri pertama.

“Ada juga yang berlasan hubungan mereka tidak direstui orang tua atau keluarga, ada juga karena sudah duluan berhubungan badan, tapi tidak ada uang. Lalu memilih menikah di sini,” ujar seorang kadi yang beroperasi di Bireuen.

Tidak dapat dipungkiri. Keberadaan kadi liar ibarat ‘dewa penolong’ bagi pasangan yang ingin menikah namun terhalang berbagai rintangan. Cukup bermodalkan uang ratusan ribu rupiah maka prosesi ijab kabulpun selesai. Walaupun tidak mengantongi akta nikah, namun menikah instan yang ditawarkan kadi liar menjadi jalan pintas yang dianggap pantas.

Praktik kadi liar secara tegas juga diatur negara. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan tindakan menikahkan seseorang tanpa tercatat pada KUA termasuk tindakan pidana pelanggaran bukan kejahatan.

“Pemerintah harus memberi perhatian, agar kadi liar yang berpraktik ini bisa ditertibkan,” ujar Kasi Bimas Islam Kementerian Agama Kota Banda Aceh, Zulkarnaini MAg kepada, Jumat 11 April 2014.

Menurutnya, menikah resmi melalui pencatatan negara di KUA hanya butuh biaya Rp 30.000. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan dengan menikah pada kadi liar yang mencapai ratusan ribu. Hanya saja, kata dia, pasangan yang menikah lewat pencatatan KUA, wajib mengikuti prosedur yang diatur negara. “Salah satunya memiliki wali yang sah,” tegasnya.(




ADA dua bentuk nikah pada kadi liar yang kerap terjadi di masyarakat. Pertama, pernikahan yang dihadiri wali nasab kedua belah pihak perempuan dan laki-laki yang dinikahkan oleh kadi. Wali nasab adalah lelaki beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam. Pernikahan semacam ini, dinilai sah menurut agama tapi tidak diakui negara karena tidak masuk dalam pencatatan administrasi negara di KUA.

Kedua, pernikahan yang terjadi tanpa dihadiri wali nikah baik dari laki-laki maupun perempuan. Kadi bertindak sebagai wali hakim atas pasangan yang menikah. Pernikahan seperti ini dinilai tidak sah menurut agama dan juga tidak diakui negara.

Menurut negara, wali hakim yang sah itu adalah wali yang ditunjuk negara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada pasal 1 sub b diterangkan: “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah”. Sementara dalam kasus nikah pada kadi liar kedudukan wali tidak jelas, dan banyak yang meragukan.

PRAKTIK kadi liar juga marak di Nagan Raya. Para peminat jasa penghulu ini terbilang lumayan tinggi. Mulai dari pejabat hingga pasangan muda perawan.

Menurut seorang kadi di Nagan Raya, proses pernikahan menggunakan jasanya bertarif Rp 500.000-Rp 1 juta sekali ijab kabul. Proses penikahan di jalur instan ini pun tidak membutuhkan kehadiran wali mutlak.

“Kehadiran orang tua atau wali dari perempuan yang akan dinikahi bisa diwakili dengan selembar kuasa yang diteken wali calon pengantin perempuan dan dibubuhi materai 6000,” kata sang kadi, Minggu 13 April 2014.

Uang ini digunakan untuk biaya saksi nikah serta sejumlah keperluan lainnya. Prosesi pernikahan paling banter memakan waktu satu jam, dan sesuai dengan pernikahan pada umumnya. Pasangan yang menikah menggunakan jasa kadi ini tidak memperoleh buku nikah dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). “Mereka hanya mendapat surat keterangan saja bahwa sudah menikah,” ujarnya.

Menurut pengakuan kadi tersebut, dirinya sudah menikahkan banyak pasangan. “Mungkin sudah seribuan orang yang saya nikahkan. Saya melakukannya atas permintaan mereka, setelah melengkapi sejumlah persyaratan yang diperlukan,” kata kadi yang tak mau disebutkan namanya ini.

Ia menuturkan, alasan menjadi kadi untuk membantu pasangan yang bersangkutan, agar mereka terhindar dari perbuatan zina, lantaran hubungan cinta mereka tak direstui orang tua.

“Daripada mereka berzina dan berdosa besar, maka lebih baik dinikahkan. Apalagi mereka juga membawa surat wakilah dari wali perempuan dan hal ini sudah sah untuk dinikahkan,” terangnya.

Tidak hanya para perawan, jasa para kadi liar ini juga banyak diincar kalangan pengusaha dan pejabat di Nagan Raya maupun Aceh Barat. Sebagian para pejabat ini menikah lewat jalur jasa kadi agar tidak diketahui oleh istri pertamanya. Bagi para pejabat, ada anggapan jika mereka ketahuan akan merasa malu. “Tak etis jika kita sebutkan siapa orangnya, ini kan rahasia,” kilahnya sambil tersenyum.

Selain kalangan pejabat, pengusaha serta masyarakat biasa juga banyak memakai jasa kadi liar. Beberapa alasan di antaranya didorong karena hubungan rumah tangga yang retak, tak cinta lagi dengan pasangan, serta berbagai faktor lainnya.

Sebagai Teungku Kadi, pria paruh baya ini mengaku tidak merasa bersalah. Lantaran ia hanya menyelamatkan pihak yang ingin berbuat dosa dengan melakukan perbuatan zina. Di kalangan masyarakat keberadaan Teungku Kadi juga mendapat tempat.

“Banyak masyarakat yang tak mau berurusan dengan KUA memilih menggunakan jasa teungku kadi. Selain efisien, persyaratannya juga tidak rumit,” kata seorang wanita di Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, Minggu 13 April 2014.

Umumnya masyarakat di desa tidak mau berurusan dengan KUA. Selain jarak tempuh yang jauh ke ibu kota kecamatan, mengurus surat nikah juga terkesan rumit dan berbelit-belit. Sehingga mereka memilih jalur instan menggunakan jasa kadi, asal sah menurut agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar