Senin, 11 April 2011

Sengketa Tanah Sari Rejo: Rahudman Belum Jawab Surat Warga


MEDAN- Janji Wali Kota Medan Rahudman Harahap untuk menerima perwakilan masyarakat Sari Rejo yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sari Rejo (Formas) di Balaikota belum juga terealisasi.
Padahal, Formas telah melayangkan surat dengan nomor 0155/Formas/III/2011 tertanggal 6 Desember 2011 tentang permohonan untuk bertemu dengan wali kota, namun hingga kini belum mendapat balasan dari Rahudman Harahap.
Dalam surat itu, masyarakat Sari Rejo menyampaikan keinginanbta bertemu langsung dengan Wali Kota Medan Rahudmann Harahap, untuk meminta penjelesan langsung terhadap perkembangan sengketa tanah Sari Rejo. Kendati dalam surat itu, hanya meminta agar masyarakat Sari Rejo melalui Formas untuk bisa bertatap muka langsung dengan Rahudman, namun esensi dari pertemuan itu adalah guna membicarakan sengketa Tanah Sari Rejo terhadap persoalan tersebut yang tak kunjung selesai.
“Kami selama ini hanya mengetahui dari media saja, makanya kami ingin bertemu langsung. Namun lebih jauh dari itu, kami ingin mempertanyakan penyelesaian persoalan ini langsung kepada Wali Kota. Maka dari itu, kami berharap sudah ada balasan dari Wali Kota Medan pada minggu depan,” kata Ketua Formas, Riwayat Pakpahan kepada Sumut Pos, Minggu (10/4).
Riwayat juga menambahkan, masyarakat juga akan mengikuti hasil rapat dengar pendapat Komisi A DPRD Sumut yang mengundang pihak Pemko Medan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut dan Medan serta dari Tim Asset TNI AU pada 13 April mendatang.
“Kita akan mensinkronkan antara hasil pertemuan Komisi A DPRD Sumut nanti, dengan hasil pertemuan dengan Wali Kota Medan. Kita berharap ada solusi atau titik jelas dari persoalan sengketa tanah kami,” tuturnya.
Sedangkan anggota Komisi A DPRD Medan Aripay Tambunan berkomentar, memang seharusnya ada pembicaraan langsung antara Wali Kota Medan dengan masyarakat Sari Rejo. Karena dengan pembicaraan langsung itu, akan menepis kesalahpahaman yang selama ini terjadi.
“Masyarakat berasumsi Pemko Medan selalu mengadakan rapat secara tertutup, sementara Pemko Medan juga tidak membeberkan hasil pembicaraan itu kepada masyarakat. Ini pada akhirnya membuat misunderstanding. Maka langkah pembicaraan langsung itu adalah jalan yang baik. Dari pertemuan itu, bisa diketahui sejauh mana perkembangan yang telah terjadi,” katanya

Pengakuan Debt Collector di Medan

MEDAN-Persoalan hukum karena perbuatan brutal debt collector atau penagih utang, tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Medan pun hal yang sama terjadi  Penasaran dengan tindak tanduk mereka, Sumut Pos menelusuri kiprah para penagih utang tersebut.
Satu yang berhasil ditemui adalah H (45) warga Jalan Prof HM Yamin SH. H merupakan satu di antara debt collector di Medan yang jasanya pernah digunakan City Bank, Danamon, BCA dan lainnya. “Sekarang saya memilih jalan sendiri, kalau dibutuhkan perusahaan atau orang untuk menagih, saya baru jalan,” beber ayah tiga anak ini.
Pria yang sudah 20 tahun terjun sebagai debt collector ini mengaku tidak masuk dalam struktur karyawan ataupun organisasi di bank-bank tersebut. Jasa debt collector dibentuk dari sebuah perusahaan jasa lalu bekerja sama dengan bank yang ada di Indonesia. “Sistem kerjanya, pihak bank memberikan job kepada perusahaan penjual jasa debt collector dengan perjanjian 25 persen. Kasarnya, dari total tagihan kami mendapat 17 persen sedangkan perusahaan jasa mendapat 8 persen jika kami berhasil menagih,” beber pria bertubuh atletis ini.
Ketika ditanya nama perusahaan jasa tempatnya bekerja dulu, H enggan menyebutkan dengan alasan situasi debt collector sekarang yang sedang hangat-hangatnya diperdebatkan. “Kalau tidak dalam kondisi sekarang ini, saya mau menceritakan tapi keadaannya sekarang berbeda,” kilahnya.
Selama menjalankan tugas berbagai cara dilakukan. Mulai bertindak halus hingga kasar. “Kalau cara halus gak bisa terpaksa kasar. Kalau tidak seperti itu, kami tidak akan mencapai target karena perusahaan menekan memberi target kepada kami,” bebernya.
Lalu, H menceritakan pengalamannya saat menagih utang nasabah salah satu bank di Medan. “Namanya tidak usah kita ungkap ya, sebut saja si A. Dia itu punya utang hampir Rp1 miliar, cicilan kredit macet dan kami mendapat tugas untuk menagihnya. Saya dan dua rekan kesulitan mencarinya karena alamat rumahnya sudah pindah,” kenangnya.
Dengan kondisi seperti itu H dkk terpaksa mencari informasi. Beruntung mereka mendapat kabar bahwa si A itu bersembunyi di Belawan. “Kami langsung membawanya kembali ke Medan dan kami menyekapnya di suatu ruangan. Di ruangan itu kami menginterogasi. Maaf cakap, berbagai cara kami lakukan agar ia bisa membayar utangnya,” katanya.Namun itu dulu, sekarang Hasril memilih jalan sendiri sebagai debt collector dengan risiko yang tidak terlalu besar. “Terus terang, risiko seperti itu besar sekali. Sekarang ini tidak bisa dilakukan seperti itu lagi karena masyarakat sudah tahu banyak tentang hukum. Kalau kita tidak pintar, kita bisa diadukan kasus penculikan dan penganiayaan,” tuturnya.
Saat ini, H menjadikan pekerjaan debt collector hanya untuk kerja sampingan. Ia kini lebih banyak terjun ke bisnis jual beli sepeda motor. “Kalau ada sepeda motor mau ditarik dari showroom biasanya saya ambil job itu. Lumayan, Rp600 ribu per sepeda motornya,” akunya.
T (25), debt collector lain yang berhasil ditemui mengaku pekerjaan itu sangat rumit. Pasalnya, kalau tak mencapai target, honor dipotong. “Kalau masih magang paling dikasih honor Rp900 ribu. Selain dipotong kalau tak mencapai target, kadang uang makan pun dipotong,” aku T yang aktif sebagai penagih utang sejak 2008 lalu.
Kini T telah mapan bekerja di sebuah perusahaan yang tidak berhubungan dengan hal itu. “Pokoknya kita kayak marketing-marketing itulah. Makanya, saya keluar dan hanya tahan bertugas selama setahun saja,” tambahnya.
Apakah pernah melakukan tindak kekerasan saat melakukan penagihan? “Wah, kita tak pernah, paling keras kita cuma memberikan peringatan saja,” tambah T.
Ketika ditanya soal peringatan yang dimaksud, T hanya tersenyum. “Ya, begitulah,” kekehnya.
Lain hal dengan S (48) warga Medan Johor. Menurutnya untuk menjadi debt collector bisa dilakukan siapa saja.”Saya saja pernah menjadi debt collector, padahal saya bekerja di pemerintahan,” akunya.
Hanya saja cara yang dilakukan S berbeda dengan debt collector pada umumnya. Ayah tiga anak lebih lebih mengedapankan pendekatan secara persuasif ataupun kekeluargaan saat penagihan utang. “Tidak perlu keras-keras saat melakukan penagihan cukup kita lakukan pendekatan secara kekeluargaan, jika yang ditagih ngotot hukum kan ada, karena negara kita kan negara hukum,” katanya.Sukri biasa mendapat job dari kerabatnya untuk menegih utang. Ia tidak berlindung di satu perusahaan.”Emang sih saya pernah ditawari perusahaan untuk menjalin kerja sama dalam hal penagihan utang, tapi saya tolak karena mereka harus ada target. Bagusan sendiri, sekalian menolong orang susah,” ujarnya.
Soal penagih utang yang marak belakangan ini memang mengarah ke kartu kredit. Karena itu, Sumut Pos pun mencoba mencari tahu, kenapa orang tertarik menjadi pengguna kartu tersebut. Faktor yang menjadi pengikat ternyata tak hanya soal uang yang bisa dikredit. Namun, kadang terletak pada siapa yang menawarkan kartu itu. Widani, salah satu Sales Promotion Boy kartu kredit yang sejak beberapa bulan lalu sudah bekerja untuk mendapatkan nasabah kartu kredit pun ditemui.
Menurut Widani, menguasai dan memahami produk yang dijual menjadi salah satu modal untuk mendapatkan nasabah. Bukan hanya itu, pintar bicara dengan memuji para calon juga merupakan suatu standar yang harus dimiliki. “Karena kita harus bisa membujuk calon nasabah,” ujar Widani.
Untuk pendapatan, gaji pokok biasanya sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Dan akan mendapatkan lebih bila mendapatkan nasabah. Dan nasabah tersebut tergantung nilai kartu kredit yang ditawarkan. Semakin besar nilai limitnya, semakin besar pula bonus yang didapat.
Noor, Sales Promotion Girls di salah satu bank juga menyatakan hal senada. “Dapat nasabah yang daftar saja sudah lumayan kok,” ujar Noor yang memiliki rambut panjang ini.
Salah satu yang harus diperhatikan adalah cara mendekati calon nasabah. “Jangan sampai calon nasabah tersebut ketakutan dengan kita,” tegasnya

Curi Dompet Kosong, Prajurit TNI AD Tewas Dimassa Warga Padangbulan


MEDAN-Seorang prajurit TNI AD, Kopral Satu TNI Surya Darma Nasution (29) tertangkap tangan melakukan pencurian di kamar kost di Jalan Pembangunan Gang Masjid, Kecamatan Selayang, Minggu (10/4) pagi pukul 05.30 WIB.
Massa sekitar 70-an orang yang umumnya anak mahasiswa dari berbagai fakultas di sejumlah universitas di Medan itu marah. Mereka menduga, Surya terkait sejumlah aksi pencurian yang kerap terjadi di sekitar kost-kostan di daerah yang dikenal dengan wilayah Kampung Susuk itu. Tanpa ampun, Surya dipukul dan ditendang. Bahkan ada yang memukul dengan balok dan batu.
Polisi yang datang setelah dihubungi pihak kepling setempat, membawa prajurit yang sekarat itu ke Rumah Sakit Bhayangkara. Diperkirakan, Surya meninggal di perjalanan. Jenazahnya kemudian disemayamkan di Rumkit Putri Hijau.
Empat saksi  dibawa Polisi ke Mapolsek Medan Sunggal, termasuk penghuni  kamar kost Abdul Yakup Harahap (22) dan Rizky Harahap (19).
Kopral Satu TNI Surya Darma Nasution diduga melakukan pencurian di kamar kost No 2A di Jl Pembangunan, Gg Mesjid, Kel PB Selayang II, Medan Selayang. Kamar itu ditempati milik dua pria bersaudara Abdul Yakup Harahap (22) dan Rizky Harahap (19). Saat kejadian, keduanya baru saja pulang Salat Subuh di Masjid Nurul Hidayah di sekitar Jalan Pembangunan.
Saat keduanya merebahkan tubuh, Abdul mendengar suara pintu dibuka. Aksi itu sungguh mulus dilakukan oleh prajurit ini. Engsel kunci pintu sangat mudah dibuka karena pintu yang berwarna coklat itu sudah usang. Penasaran, dengan mata setengah terpejam Abdul sesosok pria masuk ke kamar dan memegang dompetnya yang tak berisi.
Merasa kamar kostnya disatroni maling, Abdul dan Rizki berinisiatif langsung mengunci dan menyekap pria tersebut untuk ditanyai. “Dari pengakuannya, dia seorang oknum tentara yang tinggal di Asrama Yonif 126 Kisaran, Kabupaten Asahan,” ujar Surya yang sudah tidak percaya dengan orang yang tak dikenal itu.
Tidak percaya dengan pengakuan pria tak dikenal itu, Abdul dan saudaranya membangunkan seluruh penghuni kost dan bersama-sama menginterogasi pria itu. “Dia mengaku mau mencari kawannya bernama Dedi. Setahuku tidak ada yang namanya Dedi, karena sudah tiga tahun di sini tak ada yang namanya Dedi,” ucap Abdul lagi.
Karena geram dan tidak menemukan solusi, seluruh penghuni kost yang merasa oknum tersebut berniat jahat menjadi emosi. Tanpa dikomando, mereka langsung menghajarnya.
“Kekesalan warga, belakangan ini sudah terjadi enam kali pencurian laptop dan HP milik penghuni kost di sini,” tambah Abdul.
Walau telah minta ampun, massa yang semakin makin ramai dan beringas terus mengahajarnya. Apalagi saat dilakukan pemeriksaan isi dompetnya, terdapat identitas KTA (Kartu Tanda Anggota, Red) oknum tentara bernama Surya Darma Nasution dengan pangkat kopral satu.
Mengetahui hal tersebut, masa yang memegang balok dan beberapa batu malah ikut menghantam wajah Surya hingga ia pingsan. Dalam kondisi bersimbah darah tak berdaya, massa membiarkan Surya tergeletak di halaman.
“Tidak berapa lama, kepolisian yang telah dihubungi Kepling setempat datang dan mengevakuasinya ke Rumah Sakit Bhayangkara,” ujar Rizki yang terengah-engah.
Menurut informasi, Surya yang sudah kritis tewas dalam perjalanan menuju RS Bhayangkara. “Karena berasal dari kesatuan tentara, dia dibawa ke Rumkit Putri Hijau (untuk disemayamkan),” kata Rizki lagi.
Ditempat terpisah, Fatimah dan Wiwid, penghuni kost putri yang berada di seberang kost Abdul dan Rizki mengaku pernah melihat Surya masuk ke tempat kost mereka, sekitar dua minggu lalu. “Saat ditanya dia mengatakan mencari Putri. Padahal tak ada penghuni kost bernama Putri, kemudian dia pergi dengan santai dari sini, “ kata Mahsisiwi USU tersebut.
Dari informasi yang diperoleh, Kotu Surya tinggal di asrama di kawasan Mariendal. Wartawan koran ini pun datang ke asrama tersebut. Sejumlah warga yang tinggal di asrama itu tak ada yang bersedia memberi keterangan. Namun menurut seorang pemilik kedai, tak ada Surya Darma Nasution yang tinggal di asrama tersebut.
Sedangkan PJS Kapendam I/BB, Mayor Fatimah saat dikonfirmasi  melalui via telepon mengatakan Kopral Satu TNI Surya Darma Nasution sudah empat bulan pindah dari kesatuan Yonif 126 Kisaran. “Sekarang dia di Kesdam. Tapi kita belum tahu di Kesdam mananya, di Rumkit itu juga Kesdam,” ungkap Fatimah.
Komandan Korem 022/PT Kolonel Inf , melalui Kepala Penerangan Korem 022/PT, Mayor CAJ Prinaldi, menegaskan kabar kalau Kopral Satu TNI Surya Darma Nasution tidak lagi bertugas di Batalyon 126/KC, Kisaran.
“Memang benar, dulunya, dia (Koptu Surya Darma,red) adalah personil di Yonif 126/KC. Namun, sekarang tidak lagi. Dia sudah pindah tugas ke Kesdam,” ujar Prinaldi.
Hal senada disampaikan Komandan Batalyon Infanteri 126/KC, Letkol Inf Eppy Gustiawan SIP. Danyon, yang dikonfirmasi melalui Pasiintel Lettu Inf Setiawan Hadi Nugroho membenarkan, Koptu Surya Darma pernah berdinas di batalyon yang bermarkas di Bunut, Kisaran tersebut. Namun, masa tugasnya di kesatuan itu, terbilng singkat, karena tidak sampai hitungan tahun.
Desember 2010 silam, Koptu Sury Darma yang berlatar belakang kesehatan itu pindah tugas ke Kesehatan Kodam 1/BB (Kesdam) di Medan. Bahkan, saat bertugas di Batalyon 126/KC pun, Koptu Surya Darma berstatus personel DP (Diperbantukan). “Di sini (Yonif 126/KC, Red) dia berstatus DP, bukan pasukan organik. Dia diperbantukan ke Batalyon ini, dari Kesdam,” ujar perwira ini dengan ramah

Pelajar STM Sekarat Dibacok OTK


BANE, Sumatera Utara - Kepala JM (17) pelajar kelas III, salah satu STM di Kota Pematangsiantar dibacok pria tidak dikenal, Sabtu (9/4) sekira pukul 22.00 WIB di kawasan Perladangan Sawit Jalan Pdt J Wismar Saragih Siantar Utara. Akibatnya, kepala pelajar yang ngekost di Gang Aman, Kelurahan Asuhan, Siantar Timur itu mendapatkan 12 jahitan oleh tim medis UGD RSUD Dr Djasamen Saragih.
Peristiwa itu bermula, saat JM dan R br S (15) pacarnya yang masih duduk di bangku kelas I SMK di Kota Pematangsiantar menghabiskan malam Minggu di kawasan perladangan sawit.
Setelah bercerita di bawah rindangnya pohon sawit dengan pujaan hati,  sekira pukul 21.30 WIB korban beranjak pergi. Sebelum pulang ke rumah, korban terlebih dahulu mengantarkan R br S kerumah kos nya yang ada di kawasan Jalan Bali.
Namun setelah sampai di kediaman kekasihnya ini, R br S rumanya baru sadar kalau sebelah anting-antingnya sudah tidak terpasang lagi di telinga. Kuat dugaan, anting-anting tersebut jatuh saat mereka berada di perladangan sawit sebelumnya.  Tak mau rugi,  R br  S pun menyuruh korban mencari anting-anting yang jatuh. Meski sudah menawarkan untuk membeli saja anting yang baru, tetap saja ia disuruh R br S mencari ke perladangan sawit.
Tak bisa menolak keinginan kekasih, korban beranjak pergi dan kembali ke lokasi mojok semula. Namun saat berada di sana dan mencari anting, secara mendadak tiga orang pria muncul mendadak. Tidak tahu apa maksudnya, namun ketiga orang yang tidak dikenal tersebut langsung memukuli dan menendang korban tanpa sepatah kata pun.
Bahkan yang lebih sadisnya, salah seorang dari pelaku yang membawa parang langsung membacokkan senjata tajam tersebut ke kepala korban dan membuatnya tersungkur. Lemas tak berdaya, korban kemudian dibawa dan digiring ke pinggir jalan dan didudukkan di beram jalan. Saat inilah korban berusaha menyelamatkan diri dan lari dari lokasi.
Kejadian ini pun langsung diberitahukannya kepada teman-teman. Selanjutnya korban dilarikan ke UGD RSUD Dr Djasamen Saragih untuk mendapat pertolongan medis dan visum.
“Mereka tidak ada yang kukenal bang, tiba-tiba mereka muncul dan mengejar aku. Selanjutnya aku di pukul dan ditendang serta dibacok satu kali pakai parang,” kata korban di Mapolsek Siantar Utara Minggu (10/4).
Sementara itu kapolsek Siantar Utara AKP M Nababan yang dikonfirmasi melalui ponselnya Minggu (10/4) sore mengatakan pihaknya mengarahkan korban untuk melapor ke Polresta Siantar.
“Diarahkan ke Polres, sudah jelas pak wartawan,” kata Nababan singkat

USU Rugikan Negara Rp9 Miliar


MEDAN-Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) terus melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Fakultas Kedokteran (FK) USU untuk rumah sakit pendidikan USU. Sejauh ini pihak Kejatisu telah menemukan beberapa dugaan penyimpangan pengadaan alkes yang anggarannya berasal dari Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja (PAPBN) 2010 senilai Rp39 miliar tersebut (bukan Rp38 miliar sebagaimana berita sebelumnya, Red). Demikian hasil penelusuran dan pernyataan sumber terpercaya wartawan Sumut Pos, akhir pekan lalu.
Untuk melengkapi berkas pemeriksaan, rencananya awal pekan ini pihak penyidik akan memanggil Prof DDM yang dianggap paling mengetahui proses tender pengadaan sejumlah alkes tersebut. Sebelumnya DDM dan tiga profesor lainnya, Prof SYP, Prof CHY dan Prof GLN, telah diperiksa tim penyidik untuk dimintai keterangannya. Akhir pekan lalu, tiga pejabat FK USU yang bertugas memeriksa barang juga telah diperiksa Kejatisu. “Jadwalnya Senin (hari ini, Red) Prof DDM diperiksa lagi,” ujar sumber internal di Kejatisu.
Sumber tersebut mengatakan, keterangan Prof DDM sangat penting untuk mengungkap dugaan korupsi. Disebutkannya, dari pemeriksaan sejumlah saksi, kasus mengarah kepada DDM. Pasalnya yang bersangkutan merupakan pimpinan proyek tersebut. “Ada keterangan yang didapat penyidik yang menyebutkan bahwa DDM bertanggung jawab mengarahkan agar rekanan tertentu memenangkan tender pengadaan alkes,” terang sumber tersebut.
Data yang didapat wartawan koran ini di Kejatisu menyebutkan, pengadaan alkes yang diduga bermasalah itu berjumlah lima item, masing-masing item terdiri dari beberapa unit. Lima alkes tersebut adalah: Mobile X-Ray, Cath Lab, CT Scan, Fluroscope dan Mamograph. Dalam dokumen dari pihak USU disebutkan, kelima item alkes yang terdiri dari beberapa unit tersebut, pengadaannya menghabiskan anggaran sebesar Rp39 miliar.
“Dalam hitungan penyidik berdasarkan sumber-sumber resmi, untuk pembelian alkes itu paling banyak menghabiskan anggaran Rp30 miliar. Sedangkan dalam dokumen USU disebutkan menghabiskan anggaran Rp39 miliar. Sedikitnya diduga ada selisih Rp9 miliar. Pengadaan alkes, juga tidak sesuai rencana kegiatan anggaran (RKA). Tapi untuk menentukan kerugian negara menunggu pemeriksaan BPKP, setelah pengumpulan informasi selesai kita lakukan,” tambahnya.
Dicontohkannya, dalam RKA untuk item alkes Mamograph direncanakan pengadaannya hanya lima unit, namun realisasinya berjumlah sepuluh unit. Tidak hanya itu, jumlah satuan harga untuk masing-masing unit juga dibengkakkan, tidak sesuai dengan dokumen RKA. “Modusnya, pengadaan barang tidak sesuai dengan satuan unit dan satuan harga dalam RKA. Harganya juga jauh dari harga sebenarnya, dari sinilah diduga ada mark up,” tambahnya.
Atas data yang disampaikan sumber wartawan koran ini di Kejatisu tersebut, wartawan koran ini akhir pekan lalu melakukan penelusuran di FK USU dan rumah sakit Pendidikan USU. Sejumlah sumber di USU yang dihubungi memilih bungkam. Mereka umumnya mengatakan tidak etis mengomentari masalah ‘di rumah sendiri’. Namun pada prinsipnya mereka tetap mendukung agar kasus itu segera dituntaskan. “Bersalah atau tidak, menyimpang atau tidak, harus segera diumumkan pihak Kejatisu,” ujar sumber tersebut.
Wartawan koran ini dalam tiga hari terakhir berupaya melihat alat tersebut di rumah sakit pendidikan USU. Namun petugas sekuriti tak memperkenankannya. Memasuki areal rumah sakit yang pembangunannya memasuki finishing akhir itu memang sangat sulit. Seluruh areal masih dipagar seng. Pintu masuk ke areal rumah sakit hanya satu, tepat dari Jalan Dr Mansur. Berbagai cara dilakukan, namun petugas sekuriti mengatakan, hanya pihak yang berkompeten yang boleh masuk ke rumah sakit tersebut.
Sumber wartawan koran ini di Kejatisu mengatakan, pihak penyidik telah meninjau alkes tersebut. Semua ‘barang baru’ tersebut masih dalam kotak. “Jumlahnya belasan kotak, sebagian masih terselubung plastik dan bahan berlapis styrofoam. Jumlahnya memang lengkap, tapi ya itu tadi, tak sesuai dengan RKA,” terangnya.
Informasi lain menyebutkan, sejumlah ruangan di rumah sakit Pendidikan USU terpaksan dibongkar, karena spesifikasi alkes tidak sesuai rencana sebelumnya. Agar alkes muat, sejumlah ruangan direnovasi ulang.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajatisu), Sution Usman Adji, yang dikonfirmasi pekan lalu, terkait perkembangan penyelidikan dugaan korupsi alkes USU mengatakan, pihaknya masih berkutat pada pengumpulan informasi. “Kita masih evaluasi dan masih mengumpulkan segala bentuk informasi. Kita belum bisa menjabarkan pada media, karena kita masih melakukan evaluasi dari penyelidikan tersebut. Memang ada beberapa (petinggu USU, Red) yang diperiksa kemarin. Namun belum bisa diekspos kerena kita hanya mintai keterangan sebagai saksi saja,” tutup Sution.
Prof DDM: Perintah Rektor Tanya Humas
Upaya melakukan konfirmasi atas berbagai persolan pengadaan alkes FK USU, telah maksimal dilakukan. Namun jawaban yang diberikan Prof DDM, orang yang dianggap paling mengetahui proyek yang kini dilidik Kejatisu itu, tak memuaskan. Padahal wartawan koran ini hanya ingin memberikan ruang untuk pihak USU membela diri dengan pernyataan dari pihak-pihak yang terkait langsung.
Wartawan sengaja ingin memberikan tempat seluas-luasnya kepada Prof DDM, yang ditengarai merupakan Pimpro Pengadaan Alat Kesehatan tersebut. Sabtu (9/4) tepat pukul 09.15 WIB, wartawan sengaja mendatangi FK USU untuk menemui DDM yang tak lain adalah seorang guru besar di fakultas tersebut, namun tak berhasil.
Begitu juga saat wartawan mendatangi Gedung Biro Rektor USU pukul 10.00 WIB untuk menemui DDM yang juga staf ahli Pembantu Rektor III USU. Pada kesempatan tersebut, DDM tak berada di tempat.
Tak habis akal, pukul 11.20 WIB, dengan bertanya kepada satpam kampus, wartawan berhasil mendapatkan alamat rumahnya di di Jalan Tridharma No 114, komplek kampus USU. Setelah 15 menit mencoba mengetuk gagang pengunci gerbang rumah, tak seorang pun penghuninya yang keluar rumah.
Wartawan lalu bertanya kepada satpam yang berjaga di rumah tetangga, satu rumah dari rumah Prof DDM. “Ada anaknya di rumah itu Bang, kalau profesornya tak ada, mungkin masih ngajar di Pascasarjana USU,” jelasnya.
Kembali mencoba mengetuk gagang pengunci gerbang rumah, tetap saja tak seorangpun yang menyahut dari dalam rumah.
Berbekal informasi dari satpam, wartawan mendatangi Fakultas Pascasarjana USU. Bertanya di bagian administrasi, ternyata Prof DDM mengajar di Fakultas Pascasarjana Kesehatan Masyarakat program doktoral (S-3). “Namun, saat ini program doktor sedang libur. Jadi beliau tak datang ke kampus,” ujar seorang staf yang tak ingin namanya dikorankan.
Wartawan mencoba mengonfirmasikan pertanyaan tersebut ke Kabag Humas USU Bisru Hafi. Awalnya wartawan mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan meminta tanggapan tentang permasalahan di atas. Namun, hingga berita ini dimuat, Bisru tak mengirimkan balasan SMS konfirmasi. Saat beberapa kali dihubungi ke telepon selularnya, Bisru tak mengangkat.
Keesokan hari, Minggu (10/4) wartawan kembali mencoba mendatangi rumah Prof DDM, sekira pukul 14.10 WIB. Sama seperti hari sebelumnya, rumah tersebut seperti tak berpenghuni, tak ada orang yang menyahut panggilan.
Sekira pukul 16.00 WIB, wartawan mencoba menelepon ke nomor telepon selular Prof DDM dengan nomor yang belum pernah digunakan menelepon Prof DDM sebelumnya. Tapi, tak seperti yang diharapkan, beliau hanya mengalihkan wawancara kepada Humas. “Wah, kalau soal itu langsung ke Humas USU saja. Itu sesuai perintah rektor, tak ada yang boleh memberikan jawaban selain Humas,” katanya seraya menutup teleponnya. 

Penipu Sertifikat Tanah Berkedok Urus Dana

Gayo Lues,  Aceh – Dua warga Desa Porang, M Kasim, 58, dan Jamilah, 60, mengaku ditipu oleh Selamat Seman, warga desa Pangur. Keduanya mengaku diiming-iming diberikan uang Rp1,5 Juta dengan syarat harus memberikan sertifikat tanah hak milik mereka kepada pelaku.
Sukri, 23, anak dari M Kasim kepada Harian Aceh, Sabtu (9/4) mengatakan, awalnya keponakan bapaknya ingin meminjam uang dari BRI Ranting Blangkejeren, karena keponakan bapaknya ber KTP luar Daerah, BRI tersebut tidak mau memberikan pinjaman.
“Saat itu sertifikat yang kami masukan ke BRI dikembalikan oleh Selamat Seman. Dia langsung mengantar ke rumah, entah dia juga pekerja BRI atau tidak saya juga kurang tahu, tapi yang jelas saat melakukan survei, ia juga sering ikut dengan pegawai BRI,” jelas Sukri.
Selang sehari setelah dikembalikan sertifikat tersebut, Selamat Seman kembli menjumpai orang tua Sukri. Selamat Seman mengatakan untuk mengambil uang dari BRI sangat gampang.
“Ia mengatakan sangat mudah meminjam uang dari BRI, dan kemudian ia mengatakan pada bapak agar dia saja yang mengurus untuk mengambil uang dari BRI. Tapi syaratnya harus diberikan sertifikat tanah tersebut kepada dia untuk pengurusan,” cerita Sukri.
Setelah beberapa bulan diberikan sertifikat, Sukri disuruh orangtuanya menjumpai Selamat Seman, apakah sudah keluar uang yang akan dipinjamya dari BRI atau belum. Kalau memang belum, Sukri diminta untuk mengambil sertifikat tanah dan rumahnya itu.
“Pas kami kordinasi masalah itu di rumah, Jamilah yang merupakan tetangga saya juga bilang bahwa sertifikat tanahnya juga diambil oleh Selamat Seman. Menurut Jamilah, Selamat Seman beralasan menyewa sertifikatnya Rp1,5 Juta selama 18 Bulan, tetapi setelah dibawa sertifikatnya, sewa yang dijanjikan tidak diberikan. Saat sertifikat diminta juga tidak dikasih lagi,” katanya.
Sukri mengatakan, sertifikat milik bapaknya telah diambil Selamat Seman sekitar 5 bulan yang lalu, sedangkan milik Jamilah sekitar 3 bulan yang lalu. Saat diminta, Selamat Seman selalu beralasan besok, atau lusa.
“Saya sudah gerem melihat Selamat Seman itu, di saat diminta sertifikatnya, selalu dikatakan besok, nanti akan diantar, lusa, bayak sekali alasan yang diberikan, bahkan saya sudah menjumpai Kepala Desa Pangur dan walinya untuk diselesaikan secara kekeluargaan, tapi hingga sekarang belum juga diberikan,” tambahnya.
Untuk menelusuri sertifikat tanahnya, Sukri juga sudah menayakan kepada rekan Selamat Seman yang bekerja di BRI Blangkejeren, namun rekanya tersebut menutup-nutupi bahwa sertifikatnya tidak dimasukan ke BRI itu. “Karena sudah tidak sanggup lagi, bapak akhirnya menyuruh saya melaporkan ke Polisi pada Jumat (8/4). Tapi sebelum saya laporkan, pihak polisi juga menyuruh saya menjumpai Selamat Seman, belum juga dikembalikan, dan sekarang sudah masukkan laporannya ke Polisi,” sambungnya.
Terkait masalah keberadaan serifikat milik Jamilah dan M kasim, Selamat Seman yang dihubungi ke Hpnya tidak menjawab meskipun masuk, sedangkan SMS yang dilayangkan juga tidak dibalas.
Sementara Kapolres Gayo Lues melalui Kasat Reskrim Iptu Bob Harahap yang dihubungi Harian Aceh terkait laporan Sukri tidak menjawab, begitu juga pesan singkat yang dilayangkan juga belum dibalas hingga berita ini dikirimkan ke meja redaksi

Wakil Rakyat Diduga Aniaya Warga

Lhokseumawe, Aceh – Tgk Muhammad Yatim Usman, anggota DPRK Lhokseumawe dilaporkan ke polisi karena diduga menganiaya Idrus, 31, warga Uteun Bayi, Kecamatan Banda Sakti.
Kapolres Lhokseumawe AKBP Kukuh Santoso melalui Kapolsek Banda Sakti Iptu Ibrahim Prades didampingi Kanit Polsek Bripka Zamzami kepada Harian Aceh, Senin (11/4), mengatakan dugaan penganiayaan terjadi di rumah anggota dewan tersebut.
Peristiwa terjadi di rumah anggota dewan di Gampong Hagu Barat Laut, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe, Senin (11/4) sekitar pukul 09.00 WIB, katanya.
Dalam laporannya kepada polisi, korban mengaku dipukul dengan tongkat dan dilempar batu ke sekujur tubuhnya. Kedatangan korban ke rumah itu hendak jual ayam dan meminjam uang.
“Maksud korban ke rumah wakil rakyat itu untuk mendapatkan uang membayar tunggakan listrik di rumahnya. Pertamanya jual ayam, tetapi ditolak. Lalu pinjam uang, tidak diberikan,” katanya.
Sebelum bertemu Tgk Muhammad Yatim Usman, korban bersua dengan istri pemilik rumah. Kemudian diarahkan menjumpai wakil rakyat tersebut di bagian belakang rumah.
Bripka Zamzami mengatakan, berdasarkan keterangan korban, sebelum insiden terjadi, keduanya terlibat percakapan alot, sehingga berujung dengan penganiayaan.
Maksud korban berambut tak karuan, berkulit kecokelatan, hidung mancung, menggunakan sandal jepit, memakai baju biru dan celana jeans ditolak politisi Partai Aceh (PA) itu.
Anggota dewan yang terhormat itu menolak dengan alasan tidak memiliki uang. Selanjutnya, Idrus yang sehari-harinya pekerjaan tidak jelas memohon belas kasihan dengan pinjam uang Rp200 ribu. Namun, tidak dapat juga.
“Masa tengku tidak punya uang membantu saya. Kan saya yang mencoblos Bapak saat pemilihan legislatif lalu. Bantulah saya Pak, saya lagi susah sekali,” ucap Zamzami menirukan perkataan korban ketika menjumpai orang yang dipilihnya dua tahun silam.
Namun, perkataan korban tersebut berbuntut panjang, sehingga tangan kirinya bengkak karena dipukul menggunakan tongkat. Kejadian berlanjut, korban dihujaninya bebatuan.
“Korban sudah memberikan pengaduannya dan tinggal menunggu hasil visum Rumah Sakit PMI. Kemungkinan, anggota dewan tersebut bisa dipersangkakan pasal 352 KHUP tentang penganiayaan,” tegas Bripka Zamzami.
Ia mengatakan, berdasarkan koordinasi dengan pimpinan, penanganan kasus tersebut akan dilimpahkan ke Polres Lhokseumawe secepatnya.
Kasatreskrim Polres Lhokseumawe AKP Galih Idragiri mengatakan, pihaknya sedang mengecek kebenaran kasus penganiayaan yang dilakukan anggota dewan tersebut.
“Menyangkut kasus ini, ada dua pengaduan, yakni dari korban Idrus dan pihak dilaporkan. “Sekarang diselidiki dulu bagaimana nantinya penanganan kasus ini,” jawabnya singkat.
Hingga berita ini diturunkan, belum didapat pernyataan Tgk Muhammad Yatim Usman. Ketika dihubungi Harian Aceh ke nomor selulernya, tidak ada jawaban dari anggota DPRK Lhokseumawe tersebut.

Imigran Gelap Bebas Berkeliaran di Bireuen

Bireuen, Aceh – Sejumlah pria yang diduga imigran gelap masih berkeliaran di Kabupaten Bireuen. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai petugas resmi di instansi pemerintah ada yang bekerja di sektor swasta.
Penelusuran Harian Aceh selama dua hari ini didapati seorang petugas parkir resmi di Dinas Perhubungan Pariwisata Informatika dan Komunikasi Kabupaten Bireuen atas nama Muhammad Reza, 36, menetap di Desa Cot Trieng, diduga sebagai warga asing yang tidak memiliki izin keimigrasian untuk tinggal di Indonesia.
Yang bersangkutan tanpa merasa bersalah layaknya warga negara Indonesia umumnya menjadi petugas parkir lengkap dengan tanda pengenal resmi yang dikeluarkan Dinas Perhubungan Kabupaten Bireuen. Dia bertugas di Jalan Andalas, tepatnya di depan Mahkota Foto dan warung kopi Ulee Gajah.
Sementara satu lainnya bernama Abdul Ghafur alias Govinda, 21, terlihat bekerja sebagai pelayan di Star Black Café Jalan T Hamzah Bendahara Bireuen. Tempat itu sering dikunjungi dan menjadi tempat mangkal sejumlah pejabat Polres Bireuen, anggota intel polisi dan anggota TNI.
Muslim, 37, warga Bireuen diminta tanggapan Minggu (10/4) seputar berkeliarannya sejumlah imigran gelap mengatakan di satu sisi mereka memang belum mengganggu, tetapi di sisi penegakan aturan undang-undang. Setiap warga asing tidak boleh leluasa berkeliaran tanpa dokumen resmi.
“Lebih-lebih lagi mereka dipekerjakan oleh Dinas Perhubungan Bireuen sebagai institusi pemerintah yang seharusnya menegakkan undang-undang. Warga atau siapapun yang mempekerjakan mereka sama saja telah melanggar undang-undang negara dan patut untuk diproses hukum,” katanya.
Muslim mengaku heran dengan aparat negara dan pelaksana undang-undang yang terkesan lamban menindaklanjuti laporan masyarakat soal keberadaan sejumlah pendatang asing tanpa izin di Bireuen. Sehingga seorang warga asing di Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, telah melarikan diri (kabur).
Zulfikar, warga lainnya mengatakan sesuai UU RI No 37 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian menjadi Undang-Undang dengan jelas disebutkan pendatang asing tanpa izin harus diproses hukum.
Disebutkan ancaman pelanggaran terhadap Pasal 52 UU imigrasi itu adalah hukuman penjara lima tahun atau denda Rp25 juta kepada pelakunya. “Tetapi bukannya segera direspon, malah ada pendatang asing yang kabur sehingga menjadi preseden buruk bagi penegakan UU ke-imigrasian di negara ini,”  katanya.
Zulfikar mengatakan dari sisi kemanusiaan keberadaan sejumlah pendatang asing yang masih bebas berkeliaran di Bireuen memang prihatin, tetapi siapa yang dapat menebak mereka tidak punya maksud tertentu misalnya menjadi mata-mata asing yang bisa mengancam keamanan negara.
Kadishub Bireuen Ibrahim Ahmad diinformasikan hal itu segera menelepon pegawainya yang mengurus soal perparkiran untuk mencabut kartu petugas parkir dari Muhammad Reza dan melarang bawahannya menugaskan warga yang tidak jelas status kewarganegaraannya itu sebagai petugas parkir.
“Kami tidak mau terkesan sebagai penampung warga yang tidak jelas statusnya, walaupun dia (Muhammad Reza) mengatakan sudah menjadi muallaf, tetapi itu persoalan lain,” ujar Ibrahim seraya mengatakan WNI saja kalau bermasalah dipecat dari petugas parkir, apalagi orang yang tidak jelas statusnya.
Sementara itu seorang pekerja Star Black Café yang ditanyai Minggu (10/4) mengatakan Govinda alias Abdul Ghafur, terduga pendatang asing tanpa izin itu masih bekerja sebagai pelayan di tempat itu. Walau sebenarnya status kewarganegaraannya tidak jelas. “Dia masuk sore,” ujar seorang pekerja itu.
Seputar masalah pendatang asing ini, Kapolres Bireuen AKBP HR Dadik Junaedi SH sebelumnya mengatakan telah mengarahkan anggotanya melakukan identifikasi sejumlah terduga warga negara asing tanpa izin yang dicurigai sudah sekian tahun menetap di Kabupaten Bireuen tanpa dokumen resmi keimigrasian.
“Setelah kita tahu nama-nama mereka serta tempat mereka menetap, maka akan dipanggil untuk diinterogasi guna memastikan asal usul dan status kewarganegaraannya, jika benar imigran gelap maka akan diambil langkah berikutnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” jelas Dadik.
Ditanya adanya terduga WNA memiliki KTP Indonesia, Kapolres Bireuen mengatakan kartu identitas yang dimiliki juga akan ditelusuri kebenarannya apakah prosedur pengurus KTP atau permohonan pengalihan warganegara sudah ditempuh sesuai dengan aturan. Atas pernyataan kapolres, sejauh ini belum ditindaklanjuti polisi.
Diberitakan sebelumnya masyarakat Bireuen mengharapkan polisi dan petugas dari Kantor Imigrasi turun tangan menindaklanjuti laporan warga terkait terdeteksinya sejumlah pendatang asing tanpa izin yang diketahui sekian tahun menetap di Kabupaten Bireuen tanpa kelengkapan dokumen yang sah.
“Kalau warga (kita) Indonesia menetap tanpa izin di negara lain ditangkap dan dideportasi, jangan sampai pendatang asing di negara kita enak-enak saja menetap tanpa izin tidak direspon pelaksana undang-undang keimigrasian, bahkan terkesan didiamkan” ujar Muslim, 37, warga Bireuen