Kamis, 24 Februari 2011

Aktivis Mahasiswa Tuntut Abdullah Saleh Dipecat

Banda Aceh - Lebih 20 mahasiswa yang menamakan diri Solidaritas Mahasiswa Antikekerasan (SMAK) berunjuk rasa ke Gedung DPRA, Banda Aceh, Rabu (23/2) mengusung tuntutan agar pimpinan dan Badan Kehormatan DPRA memecat Abdullah Saleh, salah seorang anggota DPRA yang dinilai telah mempermalukan lembaga wakil rakyat.

Seperti diketahui, ketika terjadi aksi demo ke DPRA pekan lalu--dengan mengusung tuntutan lain--mahasiswa melaporkan diusir oleh Abdullah Saleh bahkan anggota dewan tersebut dinilai membiarkan pengawalnya memukul mahasiswa.

Tak terima dengan perlakuan itu, pada Rabu kemarin aktivis SMAK mendatangi DPRA, dan tiba di depan pintu pagar DPRA sekira pukul 11.00 WIB. Awalnya mereka tak diizinkan masuk, namun karena terus menggoyang-goyang pintu pagar gedung, akhirnya polisi membuka pintu dan berorasi di halaman gedung.

“Kami mendesak Ketua DPRA dan Badan Kehormatan DPRA memecat Abdullah Saleh karena telah mempermalukan institusi wakil rakyat. Bagaimana tidak, Abdullah Saleh menggerakan bodiguard-nya dengan memukul seorang mahasiswa saat menyampaikan aspirasi ke gedung terhormat ini. Dalam rekaman video terlihat jelas Abdullah Saleh membiarkan aksi pemukulan,” teriak koordinator aksi, M Falhan Qadhri. 

Merasa aksi mereka tak ditanggapi, mahasiswa melampiaskan kemarahan dengan membakar ban di halaman depan Gedung DPRA sehingga memancing aparat kepolisian dan Satpol PP untuk bertindak. Polisi mengusir mahasiswa sehingga terjadi saling dorong yang akhirnya mampu mengeluarkan mahasiswa dari halaman Gedung DPRA.  

Saat di luar pintu pagar DPRA yang tidak ditutup itu, massa kembali terlibat dorong-dorongan dengan polisi yang dilengkapi pentungan dan tameng. Meski diserapah, polisi tetap menahan diri. Akhirnya para mahasiswa bubar dan pulang dengan sepeda motor masing-masing, tapi mereka mengancam akan kembali ke Gedung DPRA hingga tuntutan mereka terpenuhi. 

Seperti diketahui, pada 26 Februari 2011, sekitar 20 mahasiswa dari Forum Pemuda Mahasiswa Pantai Barat-Selatan (FPMP-BAS) dan Poros Leuser (FPMB Leuser) berunjuk rasa di Gedung DPRA. Mereka mendesak pengesahan Qanun Pilkada Aceh.

Awalnya Abdullah Saleh meminta pengunjuk rasa tidak melakukan aksi di depan kompleks komisi DPRA karena dapat mengganggu kosentrasi anggota dewan lainnya yang sedang mengikuti rapat, namun mereka tetap bertahan sebelum bertemu Ketua DPRA, Hasbi Abdullah.

Aksi adu mulut yang berujung pada pemukulan tak terhindarkan. Salah satu pria berbadan tegap langsung menendang Adi Irawan lewat belakang ketika demonstran sedang melakukan orasi menuntut pengesahan produk hukum tersebut.

Massa Mengamuk di Kantor Bupati Aceh Barat

Meulaboh – Massa dalam jumlah besar dari Desa Gampa, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, Rabu siang kemarin mengamuk di Kantor Bupati Aceh Barat. Kaca kantor sempat dilempari bahkan Sekda Bukhari yang gagal memfasilitiasi pertemuan massa dengan bupati nyaris saja diramai-ramaikan.

Menurut informasi, kedatangan massa dalam jumlah tidak kurang 100 orang ke kantor bupati terkait dengan dugaan intevensi Bupati Ramli MS dalam hal menentukan calon Keuchik Gampa Aceh. Seorang calon bernama Cut Yulian yang disebut-sebut tak memiliki ijazah tetap lulus sebagai calon yang akan mengikuti proses pemilihan kepala desa yang dijadwalkan hari ini, Kamis (24/2). Aksi kemarin merupakan lanjutan demo yang berlangsung pekan lalu ke DPRK Aceh Barat dan Kantor Camat Johan Pahlawan, namun tak ada kejelasan.

Massa yang menyerbu Kantor Bupati Aceh Barat bukan saja kaum laki-laki dewasa tetapi banyak juga ibu-ibu. Mereka menuntut prosesi pemilihan keuchik yang dijadwalkan Kamis (24/3) ditunda. “Harus ditunda, karena salah seorang calonnya tak memenuhi syarat sehingga perlu dibuka kesempatan pendaftaran calon baru. Kalau bupati tetap memaksakan, akan sangat berbahaya,” ujar koordinator aksi, T Agam Istifar dalam orasinya.

Di bawah pengewalan ketat oleh aparat kepolisian dan Satpol PP, peserta demo meneriakkan kekecewaan dan sumpah serapah terhadap bupati yang dinilai terlalu ikut campur dalam prosesi pemilihan Keuchik Gampa. “Ini bentuk intervensi bupati. Ketika warga datang ke kantor bupati, malah bupati pergi. Jangan gara-gara ini, terjadi bentrok sesama warga,” tandas T Agam dibenarkan warga lainnya.

Setelah beberapa waktu berorasi, massa diterima oleh Sekda Bukhari MM.  Sekda meminta waktu untuk menghubungi Bupati Ramli MS yang saat itu sedang ke Kecamatan Woyla menghadiri peringatan maulid. Namun beberapa saat kemudian sekda kembali menemui massa mengatakan bahwa komunikasi dengan Bupati Ramli tak tersambung. Mendapat penjelasan itu, sejumlah warga yang tampak sangat emosi terlihat berusaha menyerang sekda namun cepat diamankan polisi dan Satpol PP.

Massa terlihat makin kecewa sehingga terjadi aksi pelemparan yang menyebabkan kaca kantor bupati di bagian depan (kiri-kanan) pecah. Polisi langsung bertindak mengamankan seorang warga dari kerumunan massa. Akhirnya polisi berhasil mengendalikan situasi sehingga massa berangsur-angsur tenang.

Hingga pukul 15.00 WIB kemarin, ratusan warga Gampa masih bertahan menunggu Bupati Ramli MS kembali, karena hampir semua pejabat jajaran Pemkab Aceh Barat sudah tak mampu menangani persoalan itu. “Kebijakannya ada di tangan Pak Bupati,” kata seorang sumber dari kalangan pejabat.

Kapolres Aceh Barat, AKBP Djoko Widodo MSi melalui Kabag Ops, AKP Yudha dan Kabag Sabara, AKP Darnuzi yang ditanyai Serambi di lokasi demo mengatakan, pihaknya mengamankan seorang warga yang terlibat pelemparan sehingga memecahkan kaca kantor. “Kita bekerja keras melakukan pengamanan sehingga tak terjadi aksi anarkis,” kata AKP Darnuzi

Selasa, 22 Februari 2011

Mengurus Paspor di Batam seperti Mengemis

Proses pengurusan paspor di Kantor Imigrasi Batam benar-benar penuh "perjuangan". Para pemohon harus rela menunggu hingga berjam-jam.

Tidak saja kehilangan banyak waktu, kondisi seperti ini  juga memakan banyak energi. Hembusan hawa sejuk yang menyeruak dari air conditioner (AC) dan kipas di ruang tunggu, sepertinya tak lagi terasa. 

Kondisi menurut para pemohon sudah menjadi pemandangan biasa, hampir setiap harinya. Hampir setiap hari pula, sumpah serapah keluar dari mulut mereka yang tengah kesal. 

Seorang pengurus paspor, sebut saja Dewi, harus menunggu selama  7 jam, dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00 WIB, hanya untuk menunggu dipanggil petugas di loket permohonan. 

"Saya antre sudah sejak pagi jam 8 pagi bersama anak saya, tapi sampai jam 3 sore ini, masih belum dipanggil. Saya sebenarnya sudah memasukkan berkas permohonan sejak pagi, tinggal nunggu panggilan saja, tapi tak juga dipanggil-panggil," ujar Dewi, Selasa (22/2). 

Wanita berjilbab ini sebelumnya sudah bertanya ke petugas di loket. Namun bukan jawaban yang ia dapatkan, justru si petugas terlihat bingung. Si petugas masih sempat melempar seulas senyum, sembari mengemasi berkas yang ada di mejanya. 

Namun Dewi masih saja gelisah. Melihat kegelisahan Dewi, sepintas kemudian, si petugas itu kikuk dan membuang pandangan ke petugas lain di ruang itu. Tak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya.

Sementara Dewi seolah masih tak puas. Tidak saja Dewi, namun di sekitar Dewi juga terdapat beberapa pemohon, yang mengalami kejadian serupa. 

Dewi mengaku, ketika mengambil nomor, ia memperoleh nomor antrean 92. "Saya mengurus paspor kok seperti mengemis ya," ungkapnya penuh iba di depan loket 4.

Ungkapan Dewi ini bukan tanpa alasan. Yah, betapa tidak, Dewi sudah mengorbankan waktunya seharian, hanya untuk menunggu panggilan dari petugas melalui pengeras suara, namun tak kunjung dipanggil jua.

Sejak datang ke Kantor Imigrasi, Dewi sudah sempat heran. Pasalnya, saat pagi hari tiba di Kantor Imigrasi, antrean sudah mencapai puluhan orang kendati masih relatif sepi. "Waktu saya datang sudah ada antrean," terangnya.

Bagi Dewi, antre selama apapun tak jadi masalah. Hanya saja, petugas seolah mendahulukan mereka yang memasukkan berkas melalui calo dan biro. Sehingga nomor antreannya "tergilas". Kendati nomornya sudah terlewat namun Dewi semula masih sabar menunggu.

"Sebaiknya Imigrasi menggunakan mesin antrean saja. Jadi siapa yang datang duluan bisa lebih dahulu dipanggil, bukan seperti sekarang," ungkapnya. 

Hingga kini memang Imigrasi Batam masih menggunakan sistem antrean manual berbentuk kertas yang dibagikan dua orang petugasdi sisi sebelah kiri lokasi pengurusan paspor. 

Selain Dewi juga ada beberapa orang lainnya bernasib serupa. 
"Kalau ngurus sendiri ya begini jadinya. Saya nunggu dari pagi juga belum dipanggil-panggil," ujar seorang pria paruh baya. Pria itu menduga, nomornya terhimpit berkas yang masuk melalui jalur belakang atau melalui calo. 

Pria itu mengusulkan, sebaiknya pihak Imigrasi memisahkan antara pengurusan yang melalui calo dan biro, dengan masyarakat umum, yang tak mengerti seluk beluk jalan "pintas". 

"Loketnya sebaiknya dipisahkan saja. Kalau untuk calo dan biro loket ini, dan kalau untuk masyarakat umum ini. Jadi nomor antrean kita tidak terhimpit," ujarnya berharap.

Usulan Hak Angket Terkait Kekosongan Kas Daerah Batam

BATAM - Kekosongan kas daerah membuat hubungan Pemko dan DPRD  Batam - Riau semakin renggang. Disatu sisi Dewan ingin melakukan kegiatan tapi  anggaran untuk itu tidak tersedia karena kas kosong. Selama sepuluh tahun  terakhir ini, baru kali ini kondisi keuangan pemko kosong dan sangat  memprihatinkan.

Beberapa Kepala bagian di Sekretariat Pemko Batam, harus mondar-mandir dari  satu ruangan ke ruangan lain untuk mencari sebotol minuman agua. 

"Hingga kini  belum bisa dibeli air minum aqua, jadi sabar saja tak bisa minum. Kita sudah  membeli tadi, tapi pegawai lain datang mengambil satu-satu akhirnya habis," kata salah satu pegawai di sekretariat.

Hal yang sama terjadi ruangan Dewan. Selama ini air minum aqua banyak tersedia  namun akhir-akhir ini sudah sulit mencari air minum aqua. Anggota DPRD Batam,  Irwansyah menyebut kondisi saat ini sudah sangat memprihatinkan membeli air  minum aqua saja untuk kepentingan rapat sudah sulit.

Irwansyah mengatakan seharusnya wali kota bisa mengambil langkah darurat untuk  menutupi pembiayaan karyawan dan tenaga honorer termasuk biaya untuk kegiatan  dewan. 

"Saya mengusulkan agar wali kota meminjam uang ke bank, untuk membayar  gaji para pengangkut sampah. Ini langkah darurat menyangkut urusan perut orang.  Kalau tenaga kebersihan tidak bisa lagi makan karena tidak gajian ini sangat  mengerikan. Saya minta agar wali kota bisa meminjam dana ke bank. Sebagai  pemerintah tentu akan dipercaya meminjam berapapun, karena tidak mungkin  pemerintah melarikan diri. Saya yakin tampa jaminan pun semua bank pasti akan  memberikannya," katanya.

Politisi PPP itu mengatakan ibarat dalam rumah tangga wali kota sebagai kepala  keluarga tentu melihat anaknya kelaparan karena tidak makan. Sebaiknya wali  kota meminjam agar anak dalam rumah itu bisa makan. 

"Jangan biarkan tenaga  honorer tidak gajian dan pengangkut sampah merana. Saya sudah dua periode jadi  anggota Dewan baru kali ini saya merasakan keuangan pemko kosong. Bayangkan  untuk membeli agua saja untuk kepentingan rapat tidak ada lagi. Ini sudah sangat  keterlaluan," katanya.

Ia menyebut tanda-tanda akan segera dibayarkan gaji para tenaga harian lepas  pengangkut sampah hingga kini belum jelas, karena kekosongan kas daerah. Selain  itu para guru-guru honor baik di SD- SMP hingga kini belum terima gaji ini  merupakan kondisi luar biasa, karena itu harus dibuat tindakan cepat.

Terkait kekosongan anggaran ini juga ada sebanyak 7 SKPD belum membayar listrik  dan terancam akan diputus pihak PLN. Wali kota Batam mengatakan PLN tidak akan memutus aliran listrik ke tujuh SKPD itu.  

"Saya yakin tidak akan diputus, tidak mungkin sampai seperti itu PLN," katanya. 

Terkait kekosongan kas daerah ini, Ketua Fraksi PDIP, Nuryanto mengatakan  kondisi saat ini sudah merupakan kejadian luar biasa. "Saya akan mendorong agar  teman-teman anggota Dewan bisa menggunakan hak angket untuk mempertanyakan ini  ke pemko Batam Riau. Saya akan menggalang kekuatan agar bisa meloloskan hak angket  ini," tegasnya.


Ia menyebut dengan kekosongan kas daerah membuat semua kegiatan tidak bisa  dilaksanakan dengan baik. Selain itu pewagai honorer belum menerima gaji dan  PNS pun baru hanya menerima gaji belum ada tunjangan yang diterima.

Ketua Komisi I Basri Harun mengatakan terkait dengan kekosongan kas ini membuat  hubungan antara Pemko dan Dewan renggang. "Saya minta agar pemko bisa segera  mengatasi agar jangan muncul ketidak percayaan masyarakat kepada pemko. Sebagai  anggota dewan merasa terusik dengan kekosongan kas daerah ini," katanya.

Ia menyebut jika pemko bisa menjalankan dengan baik mestinya kekosongan kas  ini tidak perlu terjadi, asalkan jelas penggunaannya. 

Umat Islam Diharapkan Tiru Keteladanan Nabi Muhammad

 Medan,  Umat Islam di Tanah Air, khususnya kalangan penyelenggara pemerintahan, harus mampu meniru perilaku Nabi Muhammad yang selalu memberikan keteladanan bagi pengikutnya.

“Sifat dan sikap Nabi Muhammad yang selalu memberikan keteledanan itu yang harus ditiru umat Islam,” kata pengamat sosial dari IAIN Sumatera Utara Ansari Yamamah, MA di Medan, Selasa terkait peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1432 Hijriyah.
Selama ini, kata Ansari, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW itu sering diselenggarakan dan dirayakan setiap tahun dengan berbagai kegiatan.
Namun sayangnya, peringatan tersebut masih sebatas seremonial belaka tanpa memaknai keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.
“Dengan petunjuk Allah SWT, Nabi Muhammad SAW merupakan teladan dari dunia hingga akhirat,” katanya.
Ansari menjelaskan, keteladanan yang dipertunjukkan Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dari sikapnya yang jujur dan adil dalam setiap perbuatan.
Keteladanan itu dapat dilihat dari pemberlakuan hukuman yang sama terhadap siapa pun yang melanggar aturan yang ditetapkan, termasuk orang terdekatnya.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri yang menegakan akan memberikan hukuman jika puterinya Fatimah yang melakukan sebuah kesalahan atau kejahatan.
Sifat adil dan jujur mendapatkan pengakuan semua pihak, termasuk lawan politiknya yang tetap memberikan gelar “Al Amin” atau terpecaya kepada Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, sifat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW juga perlu ditiru sebagai pemimpin yang visioner dan mampu membuat kebijakan yang dapat dterima semua pihak, bahkan dipergunakan sepanjang masa.
“Nabi Muhammad SAW seolah-olah mampu membuat ‘grand design’ kebijakan,” kata alumni Leiden University Belanda itu.
Ansari mencontohkan pembuatan perjanjian “Hudaibiyah” yang digagas Nabi Muhammad SAW dan disepakati semua pihak yang berbeda keyakinan.
Dalam perjanjian itu, dicantumkan bahwa seluruh umat beragama di tanah Arab berhak dan tidak akan diganngu untuk mengamalkan agama dan kepercayaannya.
Isi perjanjian itu disambuk baik semua pihak, bahkan diadopsi menjadi kesepakatan di dunia internasional. “Karenanya, Nabi Muhammad SAW juga diakui sebagai salah satu pemimpin dunia,” katanya.
Menurut Ansari, kemampuan para penyelenggara pemerintahan untuk meniru pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan memberikan keteladanan bagi masyarakat sangat diperlukan.
“Saat ini, aturan sudah banyak. Namun, keteladanan yang susah didapatkan,” katanya.

Pengusulan Sekda Sumut Harus Kesampingkan Polemik “Pelangi”


Medan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sumatera Utara Sigit Pramono Asri meminta semua pihak mengenyampingkan polemik “pelangi” dalam pengusulan dan penetapan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut definitif.
“Mari kita kesampingkan polemik ‘pelangi’ atau ‘tidak pelangi’ itu karena sudah bukan zamannya lagi,” ujar Sigit Pramono Asri  di Medan.
Yang dimaksud dengan “pelangi” itu sendiri adalah sebuah kebiasaan di Sumatra Utara yang memperhatikan keberagaman pada unsur pimpinan di daerah dengan mengakomodasi keragaman suku, agama, ras dan antargolongan.
Seperti Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Utara beragama Islam, maka sekretaris daerah (sekda) harus non-Islam dan sebaliknya.
Menurut Sigit Pramono Asri, pengusulan dan penetapan Sekda Sumatra Utara sebaiknya hanya mengacu pada ketentuan yang sudah ada, yakni didasarkan jenjang kepangkatan, pengalaman dan kompetensi.
“Selain itu juga harus bersih dan tidak tersangkut perkara hukum. Dia juga harus mampu menjembatani kepentingan eksekutif dan legislatif mengingat seorang sekda adalah ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah sekaligus Ketua Baperjakat,” katanya.
Ketika ditanya figur yang dinilainya paling pas untuk mengisi posisi sebagai Sekdaprov Sumut definitif yang hingga kini masih dijabat seorang pelaksana tugas (plt), Sigit Pramono Asri menolak menjawab.
“Kami tidak akan ngomong soal figur atau orang karena memang bukan domain kita. Itu domain gubernur, bukan domain legislatif,” katanya.
Terkait masalah “pelangi” atau “tidak pelangi” itu sendiri, menurut dia, hal itu sama sekali bukan salah satu persyaratan formal untuk menempati suatu jabatan.
“Itu hanya diada-adakan dan tidak jelas ukurannya. Jangan sampai pola-pola semacam ini justru menjauhkan pemerintahan dari konsep ‘good governance’ dan ‘clean government’,” katanya.
Menurut dia, siapa saja berhak menduduki jabatan sebagai Sekdaprov Sumut sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan dalam aturan perundang-undangan.
“Sebaiknya kita profesional saja dalam memandang persoalan figur sekda. Presiden SBY saja juga tidak pernah menyebut istilah ‘pelangi’ atau ‘tidak pelangi’ dalam pemerintahannya,” katanya.

Bank Sumatra Utara Diyakini Capai Target “Regional Champion”


Medan, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Hj. Meilizar Latif mengaku optimistis Bank Sumut (Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara) akan mampu memenuhi target “To Be The Best Road to Regional Champion” pada 2014.
“Dengan performa yang menggembirakan dan kinerja yang maksimal saat ini Bank Sumatra Utara akan mampu meraih target ke arah sana (regional champion),” katanya kepada wartawan di Medan, Rabu (16/2).
Menurut politisi dari Partai Demokrat itu, kinerja tersebut terlihat dari pemenuhan penyaluran kredit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan posisi pada akhir 2009 mencapai Rp7,8 triliun.
Berdasarkan data, nilai kredit sebesar itu merupakan 93 persen dari total kredit yang disalurkan sebesar Rp8,3 triliun.
Begitu juga dengan realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Sumatra Utara yang pada 2010 mencapai Rp842,71 miliar untuk 160.159 debitur.
Selain itu, Bank Sumut pun telah menguatkan komitmennya membantu ekonomi rakyat melalui Kredit Program Usaha Mikro (KPUM) Sumut Sejahtera yang juga telah diluncurkan pada 2009.
Pada 2009 Bank Sumut menyalurkan KPUM Sumatra Utara Sejahtera Rp17 miliar untuk 11.000 debitur yang disalurkan melalui 16 cabang dengan 140 tenaga pendampingan (account officer/AO).
“Yang membanggakan, Non Performance Loan (NPL) dari KPUM ini sangat kecil, bahkan ada yang sampai nol persen. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga. Bank Sumatra Utara tercatat sebagai bank umum satu-satunya yang menjalankan program KPUM di Indonesia,” ujarnya.
Menurut dia, dengan performa seperti itu seharusnya Pemprov Sumut bangga dan ikut mendukung kinerja tersebut, terlebih setelah diberikannya tambahan penyertaan modal sebesar Rp150 miliar pada 2011.
Hanya saja, kata anggota Komisi C DPRD Sumut ini, tidak semua pihak mengapresiasi kinerja bank milik daerah itu. “Kenyatannya, bank milik sendiri justru dihujat-hujat,” ujar Meilizar Latif.
Lebih jauh dikatakannya, keberhasilan Bank Sumatra Utara menjadi pemimpin perbankan di daerah pada 2014 akan sangat ditentukan oleh dukungan penuh pemerintah daerah selaku pemegang saham pengendali, pihak DPRD selaku pemberi dukungan moral dan politik serta seluruh masyarakat lokal pengguna jasa perbankan.
Namun ke depan, katanya, dengan akan menyandang predikat sebagai bank regional di Sumut, bank yang meraih predikat sebagai BUMD of The Year 2010 di Indonesia itu dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan.
“Untuk pemenuhan regional champion, CAR (capital adequacy ratio) atau rasio kecukupan modalnya harus mencapai 15 persen, kemudian daya serap penyaluran kredit harus lebih besar khususnya di sektor ritel, dan devidennya perlu lebih tinggi lagi,” ujarnya. 

Petani dan Masyarakat Kecil Terpinggir


Petani dan masyarakat kecil merupakan golongan mayoritas di Indonesia. Tapi, keberadaannya belum dalam posisi yang sesuai dengan kuantitasnya.
“Survey membuktikan, saat ini perbandingan pendapatan sangat pincang. Lebih 70 persen masyarakat bawah hanya menguasai perolehan pendapatan di bawah 20 persen,” kata Moehar Daniel, seorang Peneliti Badan Litbang Pertanian di Medan Sumatra Utara, Minggu.
Sementara di golongan atas, lanjut dia lagi, 20 persen masyarakat menguasai hampir 70 persen perolehan pendapatan negara ini. Bahkan diperkirakan setengah dari jumlah tersebut hanya dikuasai 3-5 persen penduduk.
“Kondisi ini mencerminkan suatu kepincangan yang sangat tinggi. Sayangnya, tidak ada hasil penelitian yang menyebutkan dengan tegas berapa Indeks yang menggambarkan kepincangan dimaksud,” ujarnya.
Ia menyebutkan, angka perkiraannya tidak begitu jelas, karena ada yang memperkirakan kisarannya antara 40-50, bahkan ada yang mengatakan di atas 60. Untuk memastikannya, dibutuhkan suatu penelitian mendalam, agar diperoleh angka pasti dan langkah antisipasi.
Memang, kata dia, kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian rakyat sudah hidup makmur, bahkan ada yang berlebihan. Tapi, di sekitarnya juga masih banyak masyarakat kurang beruntung, yang untuk makan sehari-haripun sangat susah.
Ironisnya, walau berada dalam kelompok mayoritas, tapi mereka merupakan golongan yang bisa dikatakan paling lemah dan tidak punya posisi tawar.
Menurut pandangan ekonom, sebut Moehar, kondisi ini merupakan suatu kewajaran dan sudah merupakan konsekuensi dari sebuah pembangunan pertumbuhan ekonomi. Kesempatan dan kekuasaan yang lebih besar akan diperoleh para pemilik modal atau kaum “borjuis”.
“Gejala ini menunjukan, pembangunan yang dilakukan belum bisa dikatakan berhasil, karena masih tingginya angka kepincangan dan masih banyaknya pengangguran serta masih besarnya jumlah penduduk miskin,” sebut Moehar.
Dalam kondisi ini, wajar saja bila petani dan rakyat kecil yang mayoritas tersebut, sering dijadikan komoditas bagi para elit politik.
Peneliti Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian yang bertugas BPTP Sumatera Barat ini menyebutkan, petani selalu dijadikan korban jargon politik dan jargon pembangunan, baik oleh para pengambil kebijakan maupun para pemilik modal atau pengusaha besar.
“Kita sering mendengar istilah demi rakyat kecil, demi petani, untuk masyarakat pedesaan, dan banyak istilah lainnya yang menempatkan petani dan masyarakat kecil sebagai tumpuan sasaran ataupun objek pembangunan,” sebutnya.
Di kalangan swasta, mereka selalu dieksploitasi untuk bekerja menguras keringat dengan imbalan tidak memadai. Semuanya tertuju untuk menambah kekayaan golongan borjuis. Mereka ditindas dan dipekerjakan dengan upah yang kurang layak.
Petani dan rakyat kecil sering mengatakan itu merupakan kesalahan pemerintah. Banyak pengamat yang tidak berpihak kepada pemerintah. Tapi, mereka hanya bisa pasrah dalam menerima takdir.
“Sebagian menyebut kondisi ini merupakan dampak lemahnya sistem hukum yang berlaku di Indonesia, karena tidak dijalankan sesuai yang digariskan, Hukum yang benar hanya berlaku untuk rakyat kecil yang tidak berdaya,” ucapnya.
Sementara untuk para pemilik modal dan pejabat tinggi, hukum bisa diatur dan disesuaikan dengan keinginan, lewat polesan uang sebagai pelicin untuk pertukaran pasal demi pasal.
“Kondisi tersebut tidak jelas sampai kapan berlaku, karena merupakan pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Sebagai bagian masyarakat yang punya kepedulian terhadap petani dan wong cilik, perlu dicurahkan perhatian dan mulai berpikir untuk berjuang bagi mereka,” sebut Moehar.
Jangan hanya dijadikan jargon atau pemanis kata saja, atau hanya digunakan sebagai pemicu motivasi, untuk melawan apa yang telah terjadi saja. Tapi, harus dimulai dari sekarang.
Lebih jauh Moehar, peneliti asal Sumatra  Utara ini menggambarkan, keadaan tersebut tidak akan berubah kalau tidak ada yang memulainya. Nasib petani dan sebagian besar masyarakat lainnya tidak akan bergeser menjadi lebih baik kalau tidak ada yang memfasilitasinya.
“Kita butuh pejuang baru dalam era kemerdekaan ini, untuk berjuang keluar dari penjajahan bangsa sendiri, yang dimulai dari masyarakat paling bawah dan perlu dicanangkan sejak sekarang,” katanya.
Perjuangan ini, lanjutnya lagi, sangat susah, rumit dan sangat mahal. Juga, butuh waktu panjang. Kalau sebelum merdeka para pahlawan berjuang melawan musuh yang nyata, yakni bangsa asing sebagai penjajah, sekarang musuh yang akan diperangi tidak nampak, namun ada.
Fisiknya tidak jelas dan perilakunya tidak nyata tetapi akibatnya sangat terasa. Dalam operasinya mereka mempunyai bermacam bentuk dan “kedok” sehingga proses yang dilakukan dalam menipu rakyat, mengeksploitasi kaum buruh hampir tidak kelihatan.
Mereka itu, kata Moehar, bersikap sangat baik terhadap petani dan wong cilik. Tapi di balik itu, perbuatannya membuat rakyat menjadi sengsara.
“Sebenarnya, mereka tidak perlu diberantas karena mereka adalah bangsa sendiri dan mereka juga manusia seperti halnya petani dan masyarakat kecil,” tambahnya.
Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah langkah antisipasi agar operasi mereka tidak berjalan dan masyarakat kecil menjadi kuat dan mandiri, dalam arti mampu berjuang dengan kemampuan sendiri.
Untuk itu, sebut Moehar lagi, dibutuhkan suatu kekuatan dan modal besar serta kemampuan dan strategi jitu sehingga proses eksploitasi, pembodohan, penipuan, dan pemerasan tidak kentara bisa hilang dan habis terkikis.
Sejalan dengan itu, proses pemberdayaan petani akan berjalan seiring peningkatan kualitas sumberdaya manusianya.