Selasa, 22 Februari 2011

Petani dan Masyarakat Kecil Terpinggir


Petani dan masyarakat kecil merupakan golongan mayoritas di Indonesia. Tapi, keberadaannya belum dalam posisi yang sesuai dengan kuantitasnya.
“Survey membuktikan, saat ini perbandingan pendapatan sangat pincang. Lebih 70 persen masyarakat bawah hanya menguasai perolehan pendapatan di bawah 20 persen,” kata Moehar Daniel, seorang Peneliti Badan Litbang Pertanian di Medan Sumatra Utara, Minggu.
Sementara di golongan atas, lanjut dia lagi, 20 persen masyarakat menguasai hampir 70 persen perolehan pendapatan negara ini. Bahkan diperkirakan setengah dari jumlah tersebut hanya dikuasai 3-5 persen penduduk.
“Kondisi ini mencerminkan suatu kepincangan yang sangat tinggi. Sayangnya, tidak ada hasil penelitian yang menyebutkan dengan tegas berapa Indeks yang menggambarkan kepincangan dimaksud,” ujarnya.
Ia menyebutkan, angka perkiraannya tidak begitu jelas, karena ada yang memperkirakan kisarannya antara 40-50, bahkan ada yang mengatakan di atas 60. Untuk memastikannya, dibutuhkan suatu penelitian mendalam, agar diperoleh angka pasti dan langkah antisipasi.
Memang, kata dia, kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian rakyat sudah hidup makmur, bahkan ada yang berlebihan. Tapi, di sekitarnya juga masih banyak masyarakat kurang beruntung, yang untuk makan sehari-haripun sangat susah.
Ironisnya, walau berada dalam kelompok mayoritas, tapi mereka merupakan golongan yang bisa dikatakan paling lemah dan tidak punya posisi tawar.
Menurut pandangan ekonom, sebut Moehar, kondisi ini merupakan suatu kewajaran dan sudah merupakan konsekuensi dari sebuah pembangunan pertumbuhan ekonomi. Kesempatan dan kekuasaan yang lebih besar akan diperoleh para pemilik modal atau kaum “borjuis”.
“Gejala ini menunjukan, pembangunan yang dilakukan belum bisa dikatakan berhasil, karena masih tingginya angka kepincangan dan masih banyaknya pengangguran serta masih besarnya jumlah penduduk miskin,” sebut Moehar.
Dalam kondisi ini, wajar saja bila petani dan rakyat kecil yang mayoritas tersebut, sering dijadikan komoditas bagi para elit politik.
Peneliti Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian yang bertugas BPTP Sumatera Barat ini menyebutkan, petani selalu dijadikan korban jargon politik dan jargon pembangunan, baik oleh para pengambil kebijakan maupun para pemilik modal atau pengusaha besar.
“Kita sering mendengar istilah demi rakyat kecil, demi petani, untuk masyarakat pedesaan, dan banyak istilah lainnya yang menempatkan petani dan masyarakat kecil sebagai tumpuan sasaran ataupun objek pembangunan,” sebutnya.
Di kalangan swasta, mereka selalu dieksploitasi untuk bekerja menguras keringat dengan imbalan tidak memadai. Semuanya tertuju untuk menambah kekayaan golongan borjuis. Mereka ditindas dan dipekerjakan dengan upah yang kurang layak.
Petani dan rakyat kecil sering mengatakan itu merupakan kesalahan pemerintah. Banyak pengamat yang tidak berpihak kepada pemerintah. Tapi, mereka hanya bisa pasrah dalam menerima takdir.
“Sebagian menyebut kondisi ini merupakan dampak lemahnya sistem hukum yang berlaku di Indonesia, karena tidak dijalankan sesuai yang digariskan, Hukum yang benar hanya berlaku untuk rakyat kecil yang tidak berdaya,” ucapnya.
Sementara untuk para pemilik modal dan pejabat tinggi, hukum bisa diatur dan disesuaikan dengan keinginan, lewat polesan uang sebagai pelicin untuk pertukaran pasal demi pasal.
“Kondisi tersebut tidak jelas sampai kapan berlaku, karena merupakan pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Sebagai bagian masyarakat yang punya kepedulian terhadap petani dan wong cilik, perlu dicurahkan perhatian dan mulai berpikir untuk berjuang bagi mereka,” sebut Moehar.
Jangan hanya dijadikan jargon atau pemanis kata saja, atau hanya digunakan sebagai pemicu motivasi, untuk melawan apa yang telah terjadi saja. Tapi, harus dimulai dari sekarang.
Lebih jauh Moehar, peneliti asal Sumatra  Utara ini menggambarkan, keadaan tersebut tidak akan berubah kalau tidak ada yang memulainya. Nasib petani dan sebagian besar masyarakat lainnya tidak akan bergeser menjadi lebih baik kalau tidak ada yang memfasilitasinya.
“Kita butuh pejuang baru dalam era kemerdekaan ini, untuk berjuang keluar dari penjajahan bangsa sendiri, yang dimulai dari masyarakat paling bawah dan perlu dicanangkan sejak sekarang,” katanya.
Perjuangan ini, lanjutnya lagi, sangat susah, rumit dan sangat mahal. Juga, butuh waktu panjang. Kalau sebelum merdeka para pahlawan berjuang melawan musuh yang nyata, yakni bangsa asing sebagai penjajah, sekarang musuh yang akan diperangi tidak nampak, namun ada.
Fisiknya tidak jelas dan perilakunya tidak nyata tetapi akibatnya sangat terasa. Dalam operasinya mereka mempunyai bermacam bentuk dan “kedok” sehingga proses yang dilakukan dalam menipu rakyat, mengeksploitasi kaum buruh hampir tidak kelihatan.
Mereka itu, kata Moehar, bersikap sangat baik terhadap petani dan wong cilik. Tapi di balik itu, perbuatannya membuat rakyat menjadi sengsara.
“Sebenarnya, mereka tidak perlu diberantas karena mereka adalah bangsa sendiri dan mereka juga manusia seperti halnya petani dan masyarakat kecil,” tambahnya.
Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah langkah antisipasi agar operasi mereka tidak berjalan dan masyarakat kecil menjadi kuat dan mandiri, dalam arti mampu berjuang dengan kemampuan sendiri.
Untuk itu, sebut Moehar lagi, dibutuhkan suatu kekuatan dan modal besar serta kemampuan dan strategi jitu sehingga proses eksploitasi, pembodohan, penipuan, dan pemerasan tidak kentara bisa hilang dan habis terkikis.
Sejalan dengan itu, proses pemberdayaan petani akan berjalan seiring peningkatan kualitas sumberdaya manusianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar